
Investasi Syariah Kavling Produktif Budidaya Ikan Nila.Â
Beberapa waktu lalu, Saya mengunjungi sebuah kavling produktif di sebuah perumahan di kota Tasikmalaya, Jawa Barat.
Di sana, Saya bertemu dengan Pa Adi, pengelola sekaligus penanggung jawab kawasan kavling produktif tersebut. Pa Adi orang yang baik dan ramah. Beliau menjelaskan banyak hal tentang kavling produktif dan bisnisnya kepada saya.
Bisnis utama dari kavling produktif ini adalah budidaya ikan nila pada kolam terpal. Pa Adi menjelaskan bahwa kolamnya menggunakan teknologi yang dinamakan dengan sistem bioflok.
Menurut beliau, sistem bioflok ini sangat membantu terutama dalam menghemat biaya pakan. Bioflok ini melibatkan bakteri, yang mana bakteri tersebut sengaja dibiakan dan menjadi pakan alami bagi ikan.
Saya pun tertarik, dan mencoba mewawancarai Beliau lebih jauh lagi, terutama tentang usaha budidaya ikan nila dan analisis usahanya.
Berikut adalah video saat memberi pakan ikan nila :
Kenapa ikan nila? bukan ikan lainnya? Ternyata, budidaya ikan nila memiliki banyak kelebihan.
Dari segi budidaya, benih ikan nila mudah didapat. Ikan nila dikenal mudah menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Lebih tahan terhadap kualitas air. Juga relatif lebih tahan terhadap serangan penyakit.
Masa pembesaran ikan nila relatif singkat. Hanya butuh waktu sekitar 4 bulanan, ikan ini sudah masuk ukuran konsumsi dan siap untuk dipanen.
Dari segi pemasaran, permintaan ikan nila selalu bagus. Harganya relatif tinggi, dagingnya juga banyak disukai masyarakat.
Pa Adi pun menjelaskan lebih lanjut tentang kelebihan sistem bioflok pada budidaya ikan nila.
Pertama, sistem bioflok hemat pakan. Untuk 1kg nila hidup biasanya butuh 1,5kg pakan. Namun sistem bioflok butuhnya hanya 1kg saja, lebih hemat 33%.
Kedua, sistem bioflok menggunakan instalasi kolam terpal, sehingga padat tebar ikan menjadi lebih tinggi. Dengan menggunakan kolam tanah, padat tebar ikan nila paling hanya 30-40 ekor per meter kubik. Sedangkan di kolam terpal, padat tebar ikan bisa mencapai 100-120 ekor per meter kubik.
Dan yang ketiga, sistem bioflok tidak membutuhkan proses penggantian air yang terlalu banyak.
Lalu, seberapa besar modal yang dibutuhkan untuk usaha ini?
Budidaya ikan nila ini dibangun di atas tanah kavling seluas 40 meter persegi. Dari tanah seluas itu bisa dibangun sampai 4 instalasi kolam terpal. Masing-masing kolam memuat 7,5 meter kubik air.
Beliau menjelaskan bahwa harga tanah kavling sudah satu paket dengan usaha budidaya ikan nila. Total modal yang dibutuhkan adalah sekitar 77 juta rupiah.
Dengan 77 juta rupiah, investor sudah dapet tanah kavling seluas 40 meter persegi, ditambah dengan instalasi kolam terpal lengkap, ditambah bibit ikan nila dan stok pakannya sampai satu siklus panen.
Sampai saat ini prospek kavling produktif ini masih sangat bagus. Dari total 36 kavling produktif, kini tersisa hanya sekitar 22 kavling lagi.
Bahkan ada investor dari negeri Arab yang juga ikut beli kavling produktif di sini. Mereka bilang sistem kerja sama seperti ini terbilang baru dan sangat menarik.
Jadi, nanti ada dua akad. Pertama akad jual beli tanah kavling dan paket usaha budidaya ikan nila. Kedua akad kerja sama bagi hasil bernama Mudharabah.
Pada akad Mudharabah, investor bertindak sebagai pemilik modal atau sohibul maal. Sedangkan Pa Adi dan timnya bertindak sebagai pengelola usaha atau mudharib. Proporsi bagi hasil antara investor dan pengelola usaha adalah 50:50.
Pa Adi menjelaskan bahwa sistem kerja sama ini telah berhasil dilakukan selama kurang lebih 2 tahun. Selama 2 tahun itu, rata-rata bagi hasil untuk investor sekitar 3 jutaan per sekali panen.
“Itu dari laba bersih ya Pa?“, tanya saya memastikan.
“Benar itu sudah bersih dari bagi hasil 50:50 tadi“, kata beliau.
“Tentunya kolam terpal dan peralatannya lama-lama akan rusak kan Pa, nanti apakah investor harus beli lagi?“, tanya saya lagi.
“Oh tidak perlu Pa, soalnya sebelum bagi hasil tadi, sudah disisihkan untuk biaya penyusutan dari setiap peralatan“, jawab beliau.
“Jadi investor tahunya sekali bayar aja pas di awal, sisanya tinggal nunggu bagi hasil tiap siklus panen“, tambahnya.
Wah, berarti investasi kavling produktif ini benar-benar full managment. Pantas banyak sekali investor yang berminat.
Jika kita hitung ulang, biaya investasi untuk satu kavling adalah 77 juta rupiah. Setiap panen, investor mendapatkan bagi hasil sekitar 3 jutaan. Dalam setahun ada 3x panen, berarti total pendapatan 9 jutaan per tahun.
Maka bisa dibilang imbal hasil atau yield dari investasi ini adalah 9 juta dibagi 77 juta, yakni sekitar 11,68% per tahun.
Ternyata, yield investasi syariah di kavling produktif budidaya ikan nila, jauh lebih tinggi dibandingkan bunga deposito yang rata-rata hanya 2% s.d 5% per tahun.
Menurut saya, investasi syariah di kavling produktif ini setidaknya dapat memberikan 3 keuntungan. Pertama, keuntungan dari yield bagi hasil tadi. Kedua, keuntungan dari kenaikan harga tanah per tahunnya.
Dan yang ketiga, keuntungan ketika suatu saat nanti kita mau membangun sebuah rumah. Kita tidak perlu membeli tanah lagi yang harganya mungkin sudah bekali-kali lipat harganya. Kita tinggal alih fungsikan lahan dari budidaya ikan nila menjadi sebuah bangunan rumah.
Hmm.. Sepertinya, beli 2 kavling cukup nih. Potensi pasive income 18 juta per tahun, dan juga bisa bikin rumah tipe 45 atau 60 di masa depan. Mantap..
Demikianlah, sekilas cerita pengalaman saya ketika berkunjung ke kavling produktif di Tasikmalaya, Jawa Barat.
Semoga menginspirasi, terutama buat Anda yang saat ini sedang mencari alternatif instrument investasi syariah selain pasar modal.
Investasi syariah memang menjadi hal yang menarik untuk dicoba. Nabung saat ini, untuk bekal di masa tua nanti. Sistem jual beli dan kerja sama yang halal, jauh dari riba dan akad-akad batil lainnya, membuat hidup Kita menjadi lebih tenang dan berkah.
Terima kasih sudah membaca, dan sampai ketemu lagi di artikel berikutnya.
Redaksi